1.
Pengertian
Bank Syariah
Bank
syariah merupakan bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip
syariah yang terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah (BPRS). Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama
islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba
serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram, dimana hal
ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional. Persaingan usaha
antar bank yang semakin tajam dewasa ini telah mendorong munculnya berbagai
jenis produk dan sistem usaha dalam berbagai keunggulan kompetitif. Dalam
situasi seperti ini Bank Umum (konvensional) akan menghadapi persaingan baru
dengan kehadiran lembaga keuangan ataupun bank non-konvensional. Fenomena ini
ditandai dengan pertumbuhan lembaga keuangan dan bank dengan sistem syariah.
2.
Perkembangan
Bank Syariah di Indonesia
Abdul Gani
Abdullah mengemukakan dalam analisis dan evaluasi hukum yang dilakukannya
terhadap perbankan syariah, menemukan sedikitnya empat hal yang menjadi tujuan
pengembangan perbankan berdasarkan prinsip syariah, yaitu :
a.
Untuk
memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima
konsep bunga.
b.
Terciptanya
dual banking sistem di Indonesia yang mengakomodasi terlaksananya sistem
perbankan konvensional dan perbankan syariah dengan baik dalam proses kompetisi
yang sehat, dimana didukung oleh pola perilaku bisnis yang bernilai dan
bermoral.
c.
Mengurangi
risiko kegagalan sistem keuangan Indonesia.
d.
Mendorong
peran perbankan dalam menggerakkan sector riil dan membatasi segala bentuk
eksploitasi yang tidak produktif serta mengabaikan nilai-nilai moral.
Sebagai
langkah awal perkembangan bank syariah di Indonesia, pada pertengahan tahun
1970-an diadakan pembicaraan mengenai bank syariah pada seminar Hubungan
Indonesia- Timur Tengah yang diadakan pada tahun 1974 dan pada tahun 1976 dalam
seminar yang diadakan Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan
Bhineka Tunggal Ika. Perkembangan pemikiran secara luas mengenai perlunya umat
Islam Indonesia memiliki perbankan Islam sendiri mulai berhembus sejak saat
itu. Namun, usaha untuk merealisasikan ide perbankan syariah tersebut terhambat
oleh beberapa alasan, yaitu :
a.
Operasi
Bank Syariah yang berdasarkan prinsip bagi hasil belum diatur, oleh karena itu
tidak sejalan dengan Undang-undang Pokok Perbankan yang berlaku, yaitu
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967.
b.
Konsep
banksyariah dari segi politis dinilai bermuatan ideologis, merupakan bagian
atau berkaitan dengan pembentukan negara Islam, oleh karena itu tidak
dikehendaki pemerintah.
c.
Belum
ada yang bersedia menaruh modal pada ventura semacam itu, sementara pendirian
bank baru dari negara Timur Tengah masih dicegah,antara lain oleh kebijakan pembatasan
bank asing untuk membuka cabangnya di Indonesia.
Pada awal
periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam
mulai dilakukan dengan pihak yang terlibat dalam pengkajiannya adalah Karnaen
A. Perwaatmadja, M. Dawam Rahardjo, A.M Saefudin, M. Amien Azis, dan lain-lain.
Uji coba pada skala yang relative terbatas telah diwujudkan pada masa itu yaitu
dengan pembentukan Baitut Tamwil-Salman di Bandung dan Koperasi Ridho Gusti di
Jakarta, yang kedua lembaga keuangan syariah tersebut berbadan hukum koperasi.
Pembentukan ini juga didorong oleh keluarnya Deregulasi Perbankan Paket 1 Juni
Tahun 1983, yang telah membuka belenggu penetapan bunga perbankan oleh
pemerintah. Dengan dibebaskannya penetapan besar bunga kepada masing-masing bank,
maka suatu bank dapat menetapkan bunga sebesar 0% (nol persen) yang
memungkinkan beroperasinya bank tanpa bunga yang berdasarkan bagi hasil
keuntungan. Namun, karena belum dimungkinkannya pendirian bank baru pada masa
itu, sedangkan bank-bank yang telah ada belum tertarik untuk mengaplikasikan
sistem bank tanpa bunga yang dinilai kurang mengntungkan, maka bank syariah
belum dapat berdiri di Indonesia, sehingga dibentuklah badan hukum koperasi
sebagai bentuk badan hukumnya.
Pada tahun
1988, gagasan mengenai bank syariah kembali muncul yang dilatarbelakangi dengan
dikeluarkannya Paket Kebijakan Oktober (PAKTO) yang berisi liberalisasi
perbankan. Liberalisasi perbankan tersebut memungkinkan didirikannya bank-bank
baru selain yang telah ada. Maka dari itu didirikanlah Bank Perkreditan Rakyat
Syariah dibeberapa daerah di Indonesia, yaitu Badan Perkreditan Syariah (BPRS)
Berkah Amal Sejahtera, BPRS Dana Mardhatillah, dan BPRS Amanah Rabaniah, yang
beroperasi di Bandung, dan BPRS Hareukat di Aceh.
Sebagai
hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut lahirlah Bank Muamalat Indonesia pada 1
November 1991. Pada saat penandatanganan Akte pendirian PT Bank Muamalat
Indonesia terkumpul komitmen pembelian saham sebesar Rp 84 Miliar. Kemudian
pada tanggal 3 November 1991 dalam acara silaturahmi presiden di Istana Bogor
dapat dipenuhi dengan total komitmen awal sebesar Rp. Sebelumnya, pada 18-20
Agustus 1990 diadakan lokakarya Bunga Bank dan Perbankan yang diadakan oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Cisarua, Bogor, Jawa barat. Hasil lokakarya
tersebut dibahas lebih mendalam dalam Musyawarah Nasional IV MUI pada 22-25
Agustus 1990. Berdasarkan Amanat Munas IV MUI tersebut dibentuklah kelompok
kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia kelompok kerja yang disebut Tim
Perbankan MUI, bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak
terkait.
Dalam
menjalankan operasinya sebagai bank yang berdasarkan prinsip syariah, Bank
Muamalat Indonesia mengalami banyak hambatan. Selain karena peraturan hukum
tentang bank syariah belum spesifik mengatur dan memberi ruang dalam
pengembangan perbankan syariah, juga ketidakmampuan BMI untuk bersaing dengan
bank konvensional yang telah memiliki jaringan yang kuat hingga ke
pelosok-pelosok daerah. Selain itu, untuk menjaga likuiditas bank dan
mempertahankan eksistensinya, yaitu melalui usaha-usaha mendapatkan keuntungan
yang sewajarnya melalui bagi hasil, maka BMI tidak bisa mengelak untuk tidak
menggarap kalangan menengah keatas sebagai nasabah dan debitur yang paling
potensial. Hal ini yang kemudian menyebabkan banyak umat Islam masih belum
merasakan kehadiran BMI memberikan sentuhan yang berarti pada mereka sebagai
bank yang mengusung nilai-nilai Islam.
Era
reformasi kemudian juga memberikan perkembangan baru dalam perbankan syariah di
Indonesia. Para pelaku perbankan dan pemerintah telah mendapatkan paradigma
baru dalam memandang perbankan Islam di Indonesia. Krisis moneter yang dialami
sebelumnya ternyata memberikan implikasi positif dalam sejarah perkembangan
bank syariah di Indonesia. Bentuk perkembangan paling besar bank syariah pada
masa itu ditandai dengan disetujuinya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
mengenai perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan,
yang merupakan regulasi mengenai perbankanuntuk bangkit dari krisis ekonomi
yang melanda pada waktu itu.
Dalam
Undang-undang tersebut memberi arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka
cabang syariah atau mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah. Hal
tersebut disambut antusias oleh kalangan perbankan konvensional yang ingin
mulai memasuki usaha bisnis perbankan syariah, untuk itu Bank Indonesia
mengadakan “Pelatihan Perbankan Syariah” bagi para pejabat Bank Indonesia dari
segenap bagian, terutama aparat yang berkaitan langsung dengan DPNP (Direktorat
Penelitian dan Pengembangan Perbankan), kredit , pengawasan, akuntansi, riset
dan moneter. Beberapa lembaga perbankan konvensional yang membuka cabang
syariah pada masa-masa awal reformasi adalah Bank IFI cabang syariah, Bank
Syariah Mandiri, dan Bank BNI Divisi Syariah.
Pada masa
ini, ada beberapa permasalahan yang belum terselesaikan dari sistem hukum
maupun dari sistem ekonomi mengenai perbankan syariah. Hal ini sebagaimana
digambarkan Umar Chappra dan ditidaklanjuti oleh Muhammad Syafi’i Antonio dalam
kajian Tazkia Institute. Persoalan-persoalan itu adalah sebagai berikut:
a.
Pada
umumnya produk produk perbankan syariah, belum memiliki standar peraturan yang
baku dan seragam. Ketika MUI/ DSN bersama Bank Indonesia tengah mempersiapkan
pembakuan Akad mudharabah, musyarakah, dan murabahah, tetapi untuk akad-akad
lainnya belum disiapkan.
b.
Perbankan
syariah dalam perkembangannya cukup pesat, tetapi memiliki asset dan akses
pasar yang masih kecil. Baru mencapai lebih dari satu persen dari total asset
perbankan nasional sehingga mempengaruhi kemampuannya untuk melakukan ekspansi
dan diverifikasi usaha.
c.
Dalam
kondisi demikian, tentunya tingkat persaingan dengan sistem ekonomi
konvensional belum berimbang karena terbatasnya jaringan kantor dan lembaga
penunjang lainnya. Juga belum memadai untuk keperluan likuiditas dan
pengelolaan risiko.
d.
Belum
ada keseragaman dalam praktek akuntansi dan sistem audit perbankan syariah,
termasuk didalamnya keseragaman laporan keungan sehingga otoritas pengatur
maupun investor mengalami kesulitan untuk melakukan perbandingan dalam menilai
kinerja perbankan syariah. Peran Accounting Organization for Islamic
Institution di Bahrain belum sepenuhnya dapat mengantisipasi kekurangan ini.
Perkembangan terakhir menunjukkan semakin membaiknya kinerja lembaga ini dalam
memjalankan tugas-tugasnya.
e.
Pada
umumnya produk produk perbankan syariah, belum memiliki standar peraturan yang
baku dan seragam. Ketika MUI/ DSN bersama Bank Indonesia tengah mempersiapkan
pembakuan Akad mudharabah, musyarakah, dan murabahah, tetapi untuk akad-akad
lainnya belum disiapkan.
f.
Perlakuan
oleh pihak perbankan syariah disatu sisi dengan nasabah pada sisi lainnya belum
berlangsung sesuai prinsip kesetaraan. Masih seperti yang diperaktikkan dalam
perbankan konvensional, dimana posisi pihak perbankan masih jauh lebih kuat
dibanding nasabahnya. Idealnya, perbankan syariah memperlakukan nasabah sebagai
mitranya yang sejajar sehigga tidak terkesan sebagai hubungan kemitraan yang
berdasarkan hubungan keyakinan semata, melainkan juga harus rasional dan
objektif.
Pada
perkembangan selanjutnya hingga saat ini, dengan dikeluarkannya peraturan
perundang-undangan khusus yang mengatur mengenai bank syariah, serta
dibentuknya badan-badan khusus yang bertugas membenahi sistem perbankan syariah
di Indonesia. Sepanjang tahun 2010 perbankan syariah tumbuh dengan volume usaha
yang tinggi yaitu sebesar 43,99% meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 26,55%
dengan pertumbuhan dana yang dihimpun maupun pembiayaan yang relative tinggi,
serta penyediaan penyediaan akses jaringan yang meningkat dan menjangkau
kebutuhan masyarakat secara luas sehingga masih cukup kuat untuk memanfaatkan
potensi membaiknya perekonomian nasional.
3.
Dasar
Hukum Bank Syariah
Berdasarkan
Pasal 4 UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, bank syariah di
wajibkan untuk menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana dari
masyarakat. Di samping itu, bank syariah juga dapat menjalankan fungsi sosial
dalam bentuk lembaga baitulmal dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola
zakat. Bank syariah juga dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf
uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak
pemberi wakaf.
4.
Karakteristik
Bank Syariah
Karakteristik
Bank Syariah diantaranya :
a.
Berdasarkan
prinsip syariah
b.
Implementasi
prinsip ekonomi Islam dengan ciri:
1)
Pelarangan
riba dalam berbagai bentuknya
2)
Tidak
mengenal konsep “time-value of money”
3)
Uang
sebagai alat tukar bukan komoditi yg diperdagangkan.
c.
Beroperasi
atas dasar bagi hasil
d.
Kegiatan
usaha untuk memperoleh imbalan atas jasa
e.
Tidak
menggunakan “bunga” sebagai alat untuk memperoleh pendapatan
f.
Azas
utama => kemitraan, keadilan, transparansi dan universal
g.
Tidak
membedakan secara tegas sector moneter dan sector riil (dapat melakukan transaksi
2 sektor riil.
5.
Fungsi
Bank Syariah
Bank
syariah dalam skema non-riba memiliki empat fungsi sebagai berikut :
1)
Fungsi
Manajer Investasi
Fungsi ini
dapat dilihat dari segi penghimpunan dana oleh bank syariah, khususnya dana
mudharabah. Bank syariah bertindak sebagai manajer investasi dari pemilik dana
(shahibul maal) dalam hal dana tersebut harus dapat disalurkan pada penyalur
yang produktif, sehingga dana yang dihimpun dapat menghasilkan keuntungan yang
akan dibagihasilkan antara bank syariah dan pemilik dana.
2)
Fungsi
Investor
Dalam
penyaluran dana bank syariah berfungsi sebagai investor (pemilik dana).
Penanaman dana yang dilakukan oleh bank syariah harus dilakukan pada sektor –
sektor yang produktif dengan risiko minim dan tidak melanggar ketentuan syariah.
Produk
investasi yang sesuai dengan syariah diantaranya akad jual beli (murabahah,
salam, dan istishna), akad investasi (mudharabah dan musyarakah), akad sewa
menyewa (ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik) dan beberapa akad lainnya yang
dibolehkan oleh syariah.
3)
Fungsi
Sosial
Fungsi ini
merupakan sesuatu yang melekat pada bank syariah. Ada dua instrumen yang
digunakan oleh bank syariah dalam menjalankan fungsi sosialnya, yaitu instrumen
zakat, infak, sedekah, dan wakaf (Ziswaf) dan instrumen qardhul hasan.
Instrumen Ziswafberfungsi untuk menghimpun ziswaf dari masyarakat, pegawai
bank, serta bank sendiri sebagai lembaga milik para investor. Instrumen qardhul
hasan berfungsi menghimpun dana dari penerimaan yang tidak memenuhi kriteria
halal serta dana infak dan sadaqah yang tidak ditentukan peruntukannya secara
spesifik oleh yang memberi.
4)
Fungsi
jasa keuangan
Fungsi jasa
keuangan yang dijalankan oleh bank syariah tidaklah berbeda dengan bank
konvensional, seperti memberikan layanan kliring, transfer, inkaso, pembayaran
gaji, letter of guarantee, letter of credit, dan lain-lain.
Namun
mekanisme untuk mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut, bank syariah
tetap menggunakan skema yang sesuai dengan prinsip syariah.
6.
Prinsip
Bank Syariah
Dalam
melaksanakan fungsi jasa keuangan perbankan syariah menggunakan beberapa
prinsip yang perlu diperhatikan, diantaranya :
a.
Prinsip
Wakalah
Wakalah
berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat.
b.
Prinsip
Kafalah
Kafalah adalah jaminan yang
diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban
pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul anhu ashil)
c.
Prinsip
Hawalah
Hawalah adalah pengalihan utang
dari orang yang berutang (muhil) kepada orang lain yang menanggungnya (munhal’
alaih)
d.
Prinsip
Sharf
Prinsip Sharf adalah prinsip yang
digunakan dalam transaksi jual beli mata uang, baik antar mata uang sejenis
maupun antar mata uang berlainan jenis.
e.
Prinsip
Ijarah
Objek ijarah adalah manfaat dari
penggunaan barang dan jasa, apabila dikaitkan dengan penggunaan barang maka
diistilahkan dengan sewa – menyewa sedangkan apabila dikaitkan dengan
penggunaan jasa maka diistilahkan dengan upah – mengupah.
7.
Kegiatan
Usaha Bank Syariah
a.
Penghimpun
Dana
b.
Penyaluran
dana
c.
Jasa
pelayanan
d.
Berkaitan
dengan surat berharga
e.
Lalu
lintas keuangan dan pembayaran
f.
Berkaitan
dengan pasar modal
g.
Investasi
h.
Dana
pensiun
i.
Sosial
8.
Prinsip
– Prinsip Dalam Menghimpun Dana Bank Syariah
Penghimpunan
dana di Bank Syariah dapat berbentuk giro, tabungan, dan deposito. Prinsip
operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah
prinsip wadi’ah dan mudharabah.
a.
Prinsip
Wadi’ah (simpanan)
Al-Wadi’ah
atau dikenal dengan nama titipan atau simpanan, merupakan titipan murni dari
satu pihak ke pihak lain, baik perorangan maupun badan hukum yang harus dijaga
dan dikembalikain kapan saja bila si penitip menghendaki.
Ketentuan
umum dari produk ini adalah :
1)
Keuntungan
atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank,
sedang pemilik dana tidak dijanjikan imabalan dan tidak menanggung kerugian.
Bank dimungkinkan memberi bonus kapada pemilik dana sebagai suatu insentif
untuk menarik dana masyarakat namun tidak boleh diperjanjikan di muka.
2)
Bank
harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana
yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan
dengan prinsip syariah.Khusus bagi pemilik rekening giro, bank dapat memberikan
buku cek, bilyet giro, dan debit card.
3)
Terhadap
pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan pengganti biaya administrasi untuk
sekadar menutupi biaya yang benar – benar terjadi.
4)
Ketentuan
– ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan berlaku
selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Yang
termasuk dalam produk Bank Syariah dalam menghimpun dana yaitu :
1)
Giro
Syariah
Giro adalah
simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek/ bilyet giro, atau dengan cara
pemindahbukuan.
2)
Tabungan
Syariah
Tabungan
adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu
yang telah disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek/bilyet giro.
3)
Deposito
Syariah
Deposito
adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu
berdasarkan perjanjian antara nasabah dengan bank.
b.
Prinsip
Mudharabah
Mudharabah
adalah akad kerja sama antara dua pihak, di mana pihak pertama menyediakan
seluruh modal dan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Apabila rugi maka akan ditanggung
pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat dari kelalaian si pengelola.
Apabila kerugian diakibatkan kelalaian pengelola, maka si pengelolalah yang
bertanggung jawab.
Jenis-Jenis
Mudharabah
1.
Mudharabah
Mutlaqah
Penerapan mudharabah mutlaqah dapat
berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua jenis penghimpunan dana,
yaitu tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Berdasarkan prinsip ini,
tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun.
2.
Mudharabah
Muqayyadah
Adalah
jenis mudharabah yang pada akadnya dicantumkan persyaratan-persyaratan tertentu
misalnya hanya boleh digunakan untuk usaha tertentu, di kota tertentu, dan
dalam waktu tertentu. Ikatan-ikatan ini membuat akad mudharabah menjadi terikat
dan sempit sehingga disebut mudharabah muqayyadah (restricted mudharabah).
Mudharabah
Muqayyah terbagi 2 yaitu :
a)
Mudharabah
Muqayyadah on Balance sheet
Jenis
mudharabah ini merupakan simpanan khusus (restricted investment) di mana
pemilik dana dapat menetapkan syarat – syarat tertentu yang harus dipenuhi
bank. Misalnya disyaratkan digunakan untuk bisnis tertentu, disyaratkan
digunakan deangan akad tertentu, atau disyaratkan digunakan untuk nasabah
tertentu.
b)
Mudharabah
Muqayyadah off Balance sheet
Jenis
mudharabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah langsung kepada usahanya, di mana bank bertindak sebagai
perantara (arranger) yang mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana
usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syarat – syarat tertentu yang harus
dipenuhi oleh bank dalam mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dan
pelaksanaan usahanya.
9.
Prinsip
– Prinsip Penyaluran Dana Bank Syariah
a.
Prinsip
Jual Beli (Ba’i)
Dalam
melakukan jual beli digunakan 3 skema
yang meliputi :
1)
Jual
beli dengan skema Murabahah
Jual beli dengan skema ini
menyatakan harga perolehan dan keuntungan yang disepakati oleh penjual dan
pembeli. Skema ini digunakan oleh bank untuk nasabah yang hendak memiliki suatu
barang, sedangkan nasabah yang bersangkutan tidak memiliki uang pada saat
pembelian. Dalam hal ini bank syariah bertindak sebagai penjual sedangkan
nasabah yang membutuhkan barang bertindak sebagai pembeli.
2)
Jual
beli dengan skema Salam
Jual beli dengan skema ini
merupakan jual beli yang pelunasannya dilakukan terlebih dahulu oleh pembeli
sebelum barang pesanan diterima.
3)
Jual
beli dengan skema Istishna
Jual beli dengan skema ini adalah
jual beli yang didasarkan atas penugasan oleh pembeli kepada penjual yang juga
produsen untuk menyediakan barang atau suatu produk sesuai dengan spesifikasi
yang disyaratkan pembeli dan menjualnya dengan harga yang disepakati.
b.
Prinsip
Investasi
Dalam
melakukan investasi, dapat dilakukan dengan skema mudharabah dan skema
musyarakah.
1)
Investasi
dengan skema Mudharabah
Akad investasi dengan skema
mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua pihak dimana salah satu pihak
menyerahkan harta kepada yang lain agar diperdagangkan dengan pembagian
keuntungan diantara keduanya sesuai dengan kesepakatan.
Dalam skema ini bank bertindak
sebagai shahibul maal (pemilik dana), sedangkan nasabah yang menerima
pembiayaan bertindak sebagai mudharib (pengelola dana), seluruh modal berasal
dari pihak bank syariah sebagai pemilik dana.
2)
Investasi
dengan skema Musyarakah
Investasi
dengan skema ini adalah kerja sama investasi para pemilik modal yang
mencampurkan modal mereka pada suatu usaha tertentu dengan pembagian keuntungan
berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan apabila terjadi
kerugian ditanggung semua pemilik modal berdasarkan porsi pemilik modal masing
– masing.
c.
Prinsip
Sewa
1)
Sewa
dengan skema Ijarah
Sewa dengan
skema ijarah adalah transaksi sewa menyewa antara pemilik objek sewa dan
penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakan. Dalam
transaksi ini bank syariah bertindak sebagai pemberi sewa atau pemilik objek
sewa, sedangkan nasabah bertindak sebagai penyewa.
2)
Sewa
dengan skema Ijarah Muntahiya Bittamlik
Sewa dengan
skema ini adalah transaksi sewa menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa
untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disediakannya dengan opsi
perpindahan hak milik pada saat tertentu sesuai dengan akad sewa. Berbeda
dengan transaksi Ijarah, pada transaksi ini memberi hak pilih pada penyewa
untuk memiliki barang yang disewa.
d.
Prinsip
Bagi Hasil (Syirkah)
Transaksi
yang penanaman dana dari pemilik modal dengan pengelola untuk melakukan usaha
tertentu yang sesuai syariah, dengan pembagian hasil antara kedua belah pihak
berdasarkan perjanjian yang telah disepakati.
Produk
pembiayaan syariah yang didasarkan pada prinsip bagi hasil adalah:
1)
Musyarakah
Musyarakah adalah semua bentuk
usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana secara bersama – sama
memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud.
Bentuk kontribusi dari pihaki yang bekerja sama dapat berupa dana, barang
perdagangan (trading asset), kewiraswastaan (entrepreneurship), keahlian
(skill), kepemilikan (property), peralatan (equipment), atau intangible asset(
seperti hak paten atau goodwill), kepercayaan/reputasi (credit worthiness) dan
barang – barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang. Dengan merangkum
seluruh kombinasi dari bentu kontribusi masing – masing pihak dengan atau tanpa
batasan waktu menjadikan produk ini sangat fleksibel.
2)
Mudharabah
Mudharabah adalah bentuk kerjasama
antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal mempercayakan seju7mlah modal
kepada pengelola dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan.Bentuk ini
menegaskan kerjasama dengan kontribusi 100% modal dari pemilik modal dan keahlian
dari pengelola. Beberapa ketentuan umum mudharabah adalah :
a)
Jumlah
modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal harusd iserahkan
tunai;
b)
Hasil
dari pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan dua
cara: perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing) dan perhitungan dari
keuntungan proyek (profit loss sharing).
c)
Hasil
usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad pada setiap bulan atau waktu
yang disepakati.
d)
Bank
berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan, namun tidak berhak mencampuri
urusan pekerjaan/usaha nasabah.
e.
Akad
pelengkap
Untuk
mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanya diperlukan juga akad pelengkap.
Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan
untuk mempermudah pelaksanaan pembayaran. Meskipun tidak ditujukan untuk
mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini diperbolehkan untuk meminta
pengganti biaya – biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya
pengganti biaya ini sekadar untuk menutupi biaya yang benar – benar timbul.
1)
Hiwalah
( Alih Utang Piutang)
Hiwalah adalah transaksi
mengalihkan utang piutang. Dalam praktik perbankan syariah, fasilitas hiwalah
lazimnya untuk melanjutkan suplier mendapatkan modal tunai agar dapat
melanjutkan produksinya. Bank mendapatkan ganti biaya atas jasa pemindahan
piutang.
2)
Rahn
(Gadai)
Tujuan akad rahn adalah memberikan
jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Barang yang
digadaikan wajib memenuhi kriteria sebagai berikut :
·
Milik
nasabah sendiri,
·
Jelas
ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar,
·
Dapat
dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank.
Atas izin
bank, nasabah dapat menggnakan barang tertentu yang digadaikan dengan tidak
mengurangi nilai dan merusak barang yang digadaikan. Apabila barang yang
digadaikan rusak atau cacat, maka nasabah harus bertanggungjawab.
3)
Qardh
Qardh adalah pinjaman uang.
Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal yaitu:
·
Sebagai
pinjaman talangan haji, diman nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan
untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji.
·
Sebagai
pinjaman tunai (cash advance) dari produk kartu kredit syariah, dimana nasabah
diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai melalui8 bank (ATM). Nasabah akan
mengembalikannya sesuai waktu yang ditentukan.
·
Sebagai
pinjaman kepada pengusaha kecil, di mana menurut perhitungan bank akan
memberatkan si pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema jual beli,
ijarah, atau bagi hasil.
·
Sebagai
pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank menyediakan fasilitas ini untuk
memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan
mengembalikannya secara angsur melalui potongan gajinya.
4)
Wakalah
(Perwakilan )
Wakalah dalam aplikasi perbankan
terjadi apabila nasabah memberikan kuasa pada bank untuk mewakili dirinya
melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C (Letter of Credit),
inkaso dan transfer uang.
Bank dan nasabah yang dicantumkan
dalam akad pemberian kuasa harus cakap hukum. Khusus untuk pembukuan L/C,
apabila dana nasabah tidak cukup, maka penyelesaian L/C (settlement L/C) dapat
dilakukan dengan pembiayaan murabahah, salam, ijarah, mudharabah, atau
musyarakah.
5)
Kafalah
(Garansi Bank)
Garansi bank dapat diberikan dengan
tujuan untuk mrnjamin suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mempersyaratkan
nasabah untuk menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai rahnb. Bank
dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadi’ah. Bank mendapatkan
pengganti biaya atas jasa yang diberikan.
6)
Pembiayaan
dengan bagi basil
a)
Al-musyarakah
Al-musyarakah
adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk melakukan usaha tertentu.
Masing-masing pihak memberikan dana atau amal dengan kesepakatan bahwa
keuntungan atau resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
AI-musyarakah
dalam praktik perbankan diaplikasikan dalam hal pembiayaan proyek.Dalam hal ini
nasabah yang dibiayai dengan bank sama-sama menyediakan dana untuk melaksanakan
proyek tersebut. Keuntungan dari proyek dibagi sesuai dengan kesepakatan untuk
bank setelah terlebih dulu mengembalikan dana yang dipakai nasabah.
Al-musyarakah dapat pula dilakukan untuk kegiatan investasi seperti pada
lembaga keuangan modal ventura.
b)
AI-mudharabah
Pengertian
AI-mudharabahadalah akad kerja sama antara dua pihak, di mana pihak pertama
menyediakan seluruh modal dan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan dibagi
menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Apabila rugi maka akan
ditanggung pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat dari kelalaian si
pengelola. Apabila kerugian diakibatkan kelalaian pengelola, maka si
pengelolalah yang bertanggung jawab.
·
mudharabah
muthlaqah merupakan kerja sama antara pihak pertama dan pihak lain yang
cakupannya lebih luas. Maksudnya tidak dibatasi oleh waktu, spesifikasi usaha
dan daerah bisnis.
·
mudharabah
muqayyadah merupakan kebalikan dari mudharabah muthlaqah di mana pihak lain
dibatasi oleh waktu spesifikasi usaha dan daerah bisnis.
Dalam dunia
perbankan biasanya diaplikasikan pada produk pembiayaan atau pendanaan seperti,
pembiayaan modal kerja. Dana untuk kegiatan mudharabah diambil dari simpanan
tabungan berjangka seperti tabungan haji atau tabungan kurban. Dana juga dapat
dilakukan dari deposito biasa dan deposito spesial yang dititipkan nasabah
untuk usaha tertentu.
10.
Keunggulan
Dan Kelemahan Bank Syariah
a.
Keunggulan
Bank Syariah
1)
Bank
syariah relatif lebih mudah merespons kebijaksanaan pemerintah;
2)
Terhindar
dari praktik money laundring;
3)
Bank
syariah lebih mandiri dalam penentuan kebijakan bagi hasilnya;
4)
Tidak
mudah dipengaruhi gejolak moneter;
5)
Mekanisme
bank syariah didasarkan pada prinsip efisiensi, keadilan dan kebersmaan.
b.
Kelemahan
Bank Syariah
1)
Jaringan
kantor bank syariah belum luas;
2)
SDM
bank syariah masih sedikit;
3)
Pemahaman
masyarakat tentang bank syariah masih kurang;
4)
Kekeliruan
penilaian proyek berakibat lebih besar daripada bank konvensional.